A.
Konsep
Medis
1.
Anatomi
Fisiologi
a. Anatomi
Paru
Paru adalah struktur elastik yang
dibungkus dalam sangkar toraks, yang merupakan suatu bilik udara kuat dengan
dinding yang dapat menahan tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding
sangkar toraks dan dasarnya, yaitu digfrahma. Efek dari gerakan ini adalah
secara bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas
dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunan
tekanan di dalam dan mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan diagfrahma
kembali ke ukurannya semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut
mengempis dan mendorong udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi
dari pernapasan normalnya membutuhkan energi: fase ekspirasi normalnya positif.
Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi menempati dua
pertiganya.
Pleura.
Bagian terluar dari paru-paru, dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu
pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks dan permukaan
superior diagfrahma. Pleura parietalis melapisi tiraks dan pleura viseralis
melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang disebut spasium
pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduannya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian.
Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks kecuali
paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
Lobus.
Setiap paru dibagi menjadi lobu-lobus. Paru kiri atas lobus bawah dan atas,
sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap lobus lebih
jauh dibagi lagi menjadi dua segmen yang dipisahkan oleh fisura, yang merupakan
perluasan pleura.
Bronkus
dan bronkiolus. Terdapat beberapa divisi bronkus
didalam setiap lobus paru. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan
dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10
pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari
ketika memilih posisi drainase postural yang paling efektif untuk pasien
tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental.
Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan
saraf.
Bronkus segmental kemudian
membentuk percabangan menjadi bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilagi dalam
dindingnya. Patensi bronkiolus seluruhnya tergantung pada rekoil elastik otot
polos sekelilingnya dan pada tekanan alveolar. Bronkiolus mengandung kelenjar
submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk
lapisan bagian dalam jalan nafas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh
sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh “rambut” pendek yang disebut silia.
Silia ini menciptakan gerakan menyapu yang konstan yang berfungsi untuk
mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring.
Bronkiolus kemudian membentuk
percabangan menjadi bronkiolus terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir
dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang
dianggap menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan
udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan udara konduksi mengandung sekital
150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam
pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkiolus
respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar
kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli.
Alveoli.
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster
antara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka
bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi
(seukuran lapang tenis).
Terdapat tiga jenis sel-sel
alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding
alveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi surfaktan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan
mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang
merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing (misal :
lendir, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting.
(Brunner
& Suddarth, EGC : 2002)
b. Fisiologi
Transpor Oksigen. Oksigen dipasok
ke sel dan karbon dioksida dibuang dari sel melalui sirkulasi darah. Sel-sel
berhubungan dekat dengan kapiler, yang berdinding tipis sehingga memungkinkan
terjadinya pertukaran atau lewatnya oksigen dan karbon dioksida dengan mudah.
Oksigen berdifusi dari kapiler, menembus dinding kapiler ke cairan interstisial
dan kemudian melalui membran sel-sel ke jaringan, tempat dimana oksigen dapat
digunakan oleh mitokondria untuk pernafasan selular. Gerakan karbon dioksida
juga terjadi melalui difusi dan berlanjut dengan arah yang berlawanan dari sel
ke dalam darah.
Pertukaran Gas. Setelah pertukaran
kapiler jaringan ini, darah memasuki vena sistemik (dimana disebut darah vena) dan
mengalir ke sirkulasi pulmonal. Konsentrasi oksigen dalam darah di dalam
kapiler paru-paru lebih rendah dibanding dengan konsentrasi dalam kantung udara
paru, yang disebut alveoli. Sebagai akibat gradien konsentrasi ini, oksigen
berdifusi dari alveoli ke dalam darah. Karbon dioksida yang mempunyai
konsentrasi dalam darah lebih tinggi dari dalam alveoli, berdifusi dari dalam
alveoli. Gerakan udara ke dan keluar jalan nafas (ventilasi) secara kontinue
memurnikan oksigen dan membuang karbon dioksida dari jalan dalam paru.
Keseluruhan proses pertukaran gas antara udara atmosfir dan darah dan antara
darah dengan sel-sel tubuh ini disebut respirasi. (Brunner & Suddarth, EGC
: 2002).
2.
Definisi
Tuberculosis adalah penyakit yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat
juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe
(Irman Somantri, 2007). Tuberculosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi
(Arif Mansjoer 2001).
Menurut Nethna. M Sandra (2001) Tuberculosis adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium Tuberculosis, yang
biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui nuklei droplet lewat udara.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tanhan asam ini dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen
, tettapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil
tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 μm, ukuran ini lebih kecil dari satu
sel darah merah (Sylvia A. Price & Wilson, 2006).
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang
parenkim paru-paru, disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. ( Irman
Somantri, 2009).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi akibat
mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru-paru dengan gejala yang sangat bervariasi. (Junaidi, Iskandar, 2010)
3.
Etiologi
Penyebab Tuberculosis (TBC) adalah mycobacterium
Tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 /um dan
tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman mycobacterium Tuberculosis complex
diantaranya : M. Tuberculosis, Varian
Asian, Varian African I, Varian African II, M. Bovis (Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
Sifat kuman TBC adalah aerob yaitu lebih mengenai
hidup pada jaringan yang tinggi kadar O2 dan juga bersifat dormant
di dalam sel yaitu basil tidak aktif tetapi keluar dari sel maka basil akan
berkembangbiak. Pada penderita akan mengalami kekambuhan. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi terjadinya infeksi TBC, yaitu keganasan basil TBC. Jumlah
basil cukup banyak, adanya sumber penularan, daya tahan tubuh yang menurun yang
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keturunan, usia, nutrisi yang kurang.
4.
Patofisiologi
5.
Klasifikasi
Pembagian
tuberculosis (TB) paru dari sistem lama diketahui beberapa klasipikasi seperti
:
a. Pembagian
secara patologis
1) Tuberculosis
primer (childhood tuberculosis)
2) Tuberculosis
post primer (adult tuberculosis)
b. Pembagian
secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (koch pulmonum) aktif, non aktif
dan quessent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
c. Pembagian
secara radiologis (luas lesi)
1) Tuberculosis
minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun
kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately
advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm.
jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satuan bagian paru. Bila
bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
3) Far
advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis.
Pada
tahun 1974 American Thoracic Sociaty memberikan klarifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat :
a. Kategori
0 : tidak pernah terpasan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes
tuberkulin negatif.
b. Ketegori
I : terpasan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat
hontak positif, tes tuberkulin negatif.
c. Kategori
II : terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit, tes tuberkulin positif,
radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori
III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Di
Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,
radiologis dan mikrobiologis :
a. Tuberculosis
Paru
b. Bekas
Tuberculosis Paru
c. Tuberculosis
Paru tersangka, yang terbagi dalam :
-
Tuberculosis paru tersangka yang
diobati. Disini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif.
-
Tuberculosis paru tersangka yang tidak
diobati. Disini seputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
WHO
1991 berdasarkan terapi membati TB dalam 4 kategori yakni :
Kategori
I, ditujukan terhadap :
a. Kasus
baru dengan sputum positif
b. Kasus
baru dengan bentuk TB berat
Kategori
II, ditujukan terhadap :
a. Kasus
kambuh
b. Kasus
gagal dengan sputum BTA positif
Kategori
III, ditujukan terhadap :
a. Kasus
BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
b. Kasus
TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
Kategori
VI, ditujukan terhadap : TB kronik.
(ilmu
penyakit dalam, 2006).
6.
Diagnosis
dan Manifestasi Klinis
Pada
stadium dini penyakit tuberkulosis biasanya tidak tampak adanya tanda atau
gejala yang khas. Tuberkulosis dapat didiagnosis hanya dengan tes tuberkullin,
pemeriksaan radiogram dan pemeriksaan bakteriologik. Menurut CDC (Centers for
Disease Control), suatu kasus tuberkulosis dapat dipastikan bila organisme
mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi. Jika bakteri tidak diperoleh,
maka laporan kasus tuberculosis dianggap benar bila hal-hal berikut ini dapat
ditemukan :
a. Prosedur
diagnostik sudah dilakukan dengan lengkap.
b. Bukti
adanya infeksi tuberkulosis (seperti tes tuberkulin positif).
c. Radiogram
dada dengan hasil abnormal (tidak stabil, dapat memburuk atau membaik) dan atau
bukti klinis akan adanya penyakit ini, dan
d. Keputusan
yang memberikan satu paket terapi yang lengkap dengan dua atau lebih obat
antituberkulosis.
Dengan
berjalannya penyakit dan semakin banyaknya destruksi jaringan paru-paru,
produksi sputum semakin banyak dan batuk-batuk dapat menjadi semakin berat.
Biasanya tidak ada gajala nyeri dada dan batuk darah biasanya hanya dikaitkan
dengan kasus-kasus yang sudah lanjut. Beberapa penderita mengalami batuk
produktif, keletihan lemah, keringat pada malam hari dan berat badan menurun
mirip dengan tanda dan gejalan bronkhitis akut dan pneumonia (Prince.A.Sylvia,
1995).
7.
Komplikasi
Penyakit
tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
a. Komplikasi
dini
1) Pleuritis
2) Efusi
pleura
3) Empierna
4) Laringitis
5) Menjalar
ke organ lain ®
usus
6) Poncet’s
arthropathy
b. Komplikasi
lanjut
1) Obstruksi
jalan nafas ®
SPOT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis)
2) Kerusakan
parenkim berat ® SPOT / Fibrosis paru, kor pulmonal
3) Amilioidosis
4) Karsinoma
paru
5) Sindrom
gagal nafas dewasa (ARDS)
(Arsil
Bahar, 2001).
8.
Manajemen
Medik
Tabel 2.1
Dosis Obat Antituberkulosis
Obat
|
Dosis
|
||
|
Setiap hari
|
Dua kali/minggu
|
Tiga kali/minggu
|
Isoniazid
|
5mg/kg
|
15 mg/kg
|
15 mg/kg
|
|
|
|
|
|
Maksimal 300 mg
|
Maksimal 900 mg
|
Maksimal 900 mg
|
|
|
|
|
Rifampisin
|
10 mg/kg
|
10 mg/kg
|
10 mg/kg
|
|
|
|
|
|
Maksimal 600 mg
|
Maksimal 600 mg
|
Maksimal 600 mg
|
|
|
|
|
Pirazinamid
|
15- 30 mg/kg
|
50-70 mg/kg
|
50-70 mg/kg
|
|
|
|
|
|
Maksimal 2 gram
|
Maksimal 4 gram
|
Maksimal 3 gram
|
|
|
|
|
Etambutol
|
15- 30 mg/kg
|
50 mg/kg
|
25-30 mg/kg
|
|
|
|
|
|
Maksimal 2,5 gram
|
|
|
|
|
|
|
Streptomisin
|
15 mg/kg
|
25-30 mg/kg
|
25-30 mg/kg
|
|
|
|
|
|
Maksimal 1 gram
|
Maksimal 1,5 gram
|
Maksimal 1 gram
|
(Arif Mansjoer, 2001)
9.
Pemeriksaan
penunjang
a. Uji
Tuberkulin
b. Pemeriksaan
Radiologi
c. Pemeriksaan
Bakteriologis
d. Pemeriksaan
Patologi Anatomi
e. Uji
BCG
(Asril
Bahar, 2001).
10. Dampak Penyakit Terhadap Kebutuhan
Dasar Manusia
a. Kebutuhan
oksigen
Dengan adanya kerusakan jaringan pada daerah paru
oleh bakteri mycobacterium tuberculosis
maka difusi gas di alveoli akan terganggu. Selain itu juga sekret menumpuk di
saluran nafas sehingga asupan oksigen dan pengeluaran karbondioksida tidak
efektif. Karena kurang efektifnya jalan nafas tersebut maka kebutuhan oksigen
kurang adekuat. Sebagai kompensasi tidak adekuatnya suplai oksigen, maka
terjadi peningkatan frekuensi pernafasan sehingga klien mengeluh sesak.
b. Rasa
nyaman
Akumulasi sekret kental dan menetap menimbulkan rasa
tidak nyaman pada klien.
c. Pemenuhan
nutrisi
Kebanyakan klien dengan tuberkulosis paru akan
mengalami kesulitan makan karena adanya proses peradangan pada jaringan paru
sehingga sulit untuk menelan. Adakalanya, saluran antara oesophagus dan bronchi
menjadi tidak normal (fistula), menyebabkan batuk parah selama menelan sehingga
makanan dan minuman masuk ke dalam paru-paru. Apabila transpor oksigen dan
nutrisi ke jaringan otak berkurang maka akan merangsang pusat vomiting center yang akan menyebabkan
mual dan muntah sehingga intake nutrisi berkurang.
d. Aktivitas
Klien dengan tuberculosis paru akan mengalami sesak
nafas dan intake nutrisi yang tidak adekuat akan menyebabkan pembentukan energi
menurun sehingga klien mengalami kelemahan fisik secara menyeluruh yang
akhirnya klien tidak dapat melakukan aktivitas secara penuh.
e. Istirahat
Tidur
Proses peradangan akan meningkatkan rangsangan cilia
sehingga akan merangsang refleks batuk. Dengan adanya batuk produktif maka
keadaan tersebut akan merangsang susunan saraf simpatis untuk mengaktivasi RAS
dan mengaktifkan ke organ tubuh menyebabkan REM menurun sehingga klien akan
selalu terjaga.
f. Psikologis
Apabila klien tidak mengetahui tentang penyakit
progonis penyakit, maka akan meningkatkan kecemasan pada klien atau keluarga.
(Doenges, M, E, EGC, 2000).
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan Dengan Kasus TB Paru
1.
Pengkajian
Dari
hasil pengkajian pada klien TB Paru biasanya didapat data-data sebagai berikut
:
a. Pengumpulan
Data
1) Data
Biografi Klien
Yang perlu dikaji adalah : nama, usia, umur, jenis
kelamin, pendidikan, alamat dan tanggal masuk rumah sakit.
2) Data
Biografi Penanggung Jawab
Yang perlu dikaji adalah : nama, usia, umur, jenis
kelamin, pendidikan, alamat dan hubungan dengan klien.
b. Riwayat
Kesehatan
1) Keluhan
utama : keluhan utama adalah keluhan yang paling menonjol yang dirasakan klien
saat dikaji yaitu : adanya batuk pilek yang lama (≤ 4 minggu), terasa sesak
waktu bernafas.
2) Riwayat
kesehatan sekarang menjabarkan kejadian sampai terjadinya penyakit saat ini
yang menyebabkan klien mencari pertolongan. Merupakan penjabaran dari keluhan
utama yang dirasakan saat dikaji dengan menggunakan PQRST.
3) Riwayat
kesehatan dahulu adanya batuk pilek yang mungkin berhubungan dengan penyakit
sekarang atau klien pernah mengalami penyakit yang sama dengan penyakit yang
sekarang.
4) Riwayat
kesehatan keluarga apakah ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang
sama dengan klien atau penyakit yang diturunkan atau penyakit menular.
5) Riwayat
kesehatan lingkungan ventilasi ruamah kurang, lingkungan yang kotor dan berdebu
dapat terhirup dan dapat menimbulkan penyakit infeksi saluran pernapasan atau
TB Paru.
6) Riwayat
psikologi dikaji keadaan emosi dan respon keluarga dalam menghadapi penyakit
tuberculosis Paru yang sedang diderita anaknya.
7) Riwayat
sosial dikaji tentang pola hidup, kebiasaan dan pola interaksi dengan orang
lain di lingkungan sekitarnya.
8) Pola
kebiasaan sehari-hari pola makan dan minum, pola tidur dan istirahat, aktivitas
atau bermain dan pola eliminasi.
2.
Pemeriksaan
Fisik
a. Keadaan
umum
a. Penampilan
: Pada dasarnya pasien lemah
b. Kesadaran : Composmetis, kemungkinan ditemukan
adanya penularan kesadaran.
c. Tanda-tanda
vital : pada kasus tuberculosis
paru memungkinkan terjadinya peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut nadi.
b. Data
Biologis
Ada empat teknik dalam pemeriksaan fisik yaitu
mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi untuk mendapatkan data
objektif.
a. Sistem
pernafasan
Pernapasan cepat dan dangkal disrtai pernapasan
cuping hidung, ada sianosis sekitar hidung dan mulut, ada pemeriksaan adanya
retraksi dinding dada, pada auskultasi terdengar suara napas ronchi basah atau
kering, batuk berdahak, darah.
b. Sistem
Kardiovaskuler
Kemungkinan terjadi hiper atau hipotensi, sianosis,
clubing finger dan takikardi.
c. Sistem
Gastrointestinal
Kemungkinan adanya mual, muntah, nafsu makan buruk,
penurunan berat badan karena adanya peningkatan metabolisme tubuh dari proses
peradangan. Adanya sputum di jalan nafas akan terasa bau dan tidak enak
sehingga nafsu makan menurun.
d. Sistem
Genitourinaria
Selama fungsi ginjal masih bagus kemungkinan
kelainan sangat kecil dan diare terus menerus sehingga urine dapat berkurang.
e. Sistem
Muskuloskeletal
Kemungkinan dijumpai adanya kehilangan masa otot,
pergerakan otot lemah, keletihan dan kelelahan.
f. Sistem
Integumen
Dapat dikaji adanya sianosis bagian ujung
ekstremitas perifer seperti ujung jari, tangan dan kaki atau membran mukosa
sianosis, juga adanya peningkatan suhu tubuh, keringat dingin pada malam hari.
g. Sistem
endokrin
Menjelaskan mengenai keadaan kulit meliputi warna,
tekstur, turgor dan keadaan kulit, tekstur dan bentuk rambut, keadaan wajah
pucat atau tidak.
h. Sistem
Neurologis
Tuberculosis paru bisa dikompilasikan ke otak
(meningens) apabila pengobatan tidak teratur atau tidak tuntas.
c. Pemeriksaan
penunjang / Diagnostik
1) Hasil
labolatorium darah : gambaran darah tepi menunjukkan adanya leukositosis, laju
endap darah meningkat. Pemeriksaan bakteriologi : ditemukannya basil
tuberculosis akan memastikan diagnosis tuberculosis, tetapi walaupun tidak
diketemukan bukan berarti tidak menderita tuberculosis paru. Bahan yang
digunakan :
a) Bilasan
lambung
b) Sekret
bronchus
c) Sputum
d) Cairan
pleura
2) Hasil
foto thorax terdapat pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau
tanpa infiltrat.
3.
Diagnosa
Keperawatan
a. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret pada jalan
nafas.
b. Gangguan
rasa nyaman nyeri dada berhubungan dengan iskemik jaringan paru.
c. Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan radang kronis.
d. Anemia
berhubungan dengan erosi pembuluh darah
e. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
f. Resiko
tinggi penularan penyakit berhubungan dengan baksil menyebar melalui udara
(Doenges,
M, E, EGC : 2000).
4.
Rencana
Keperawatan
a. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan dan pengentalan sekret
pada jalan nafas.
1) Tujuan
: Jalan nafas menjadi efektif.
2) Kriteria
hasil :
-
Bunyi napas bersih
-
Tidak ada dispneu
-
Tidak ada sianosis
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Kaji fungsi : bunyi napas, kecepatan, irama dan
kedalaman serta penggunaan otot aksesoris.
|
1.
Penurunan bunyi napas dapat menunjukan
atelektasis, ronchi mengi menunjukan akumulasi sekret, ketidakmampuan untuk
membersihkan jalan napas dapat menimbulkan penggunaan obat aksesori
pernapasan.
|
2.
Berikan pasien posisi semi fowler.
|
2.
Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan
penurunan upaya pernapasan.
|
3.
Bersihkan sekret dari trochea penghisapan sesuai
keperluan.
|
3.
Mencegah obstraksi/aspirasi penghisapan dapat
diperlukan bila pasien tak mampu mengeluarkan sekret
|
4.
Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
kecuali kontradiksi
|
4.
Pemasukan tinggi cairan membantu untuk
mengencerkan sekret, membuatnya mudah di keluarkan.
|
5.
Koaborasi. Lembabkan udara/oksigen inspirasi
|
5.
Mencegah pengeringan membran mukosa : membantu
pengenceran sekret.
|
b. Gangguan
rasa nyaman nyeri dada berhubungan dengan iskemik jaringan paru
1) Tujuan
: Rasa nyaman teratasi atau hilang
2) Kriteria
hasil :
-
Wajah klien tidak tampak kesakitan / ekspresi
wajah tenang
-
Klien tidak gelisah
-
Pernafasan normal
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Kaji skala nyeri
|
1.
Untuk mengetahui dan berat / ringannya nyeri.
|
2.
Atur posisi semi fowler / duduk di ganjal
|
2.
Meminimalkan ekspansi paru dan penurunan upaya
pernapasan
|
3.
Pantau TTV
|
3.
Perubahan frekuensi jantung menunjukkan bahwa
pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan TTV telah
terliha.
|
4.
Tentukan karakteristik nyeri
|
4.
Nyeri dada : biasanya ada dalam beberapa derajat
pada TBC juga dapat timbul komplikasi meningitis TB jika pengobatan yang
tidak teratur.
|
5.
Anjurkan teknik nafas dalam
|
5.
Untuk mengurangi rasa nyeri
|
6.
Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan tenang
|
6.
Mengurangi stimulus nyeri pada klien
|
7.
Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan
dada selama episode batuk
|
7.
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada
sementara kefektifan supaya batuk.
|
8.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antitusif
seesuai indikasi
|
8.
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk
non-produktif / proksimal atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan
kenyamanan/istirahat umum.
|
c. Nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan untuk menghisap akibat
sesak.
1) Tujuan
: Nutrisi terpenuhi
2) Kriteria
hasil :
-
Berat badan meningkat
-
Makan atau minum masuk
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Kaji reflek isap klien
|
1.
Bila reflek isap + berarti klien dapat menelan
dengan baik
|
2.
Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara
periodik
|
2.
Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan
dukungan cairan
|
3.
Atur posisi tidur klien dengan kepala lebih tinggi
tiap mau makan
|
3.
Untuk menurunkan resiko aspirasi
|
4.
Anjurkan kelurarga untuk menghindai penggunaan
sedotan
|
4.
Penggunaan sedotan mempercepat waktu transit dan
menghambat resiko aspirasi
|
5.
Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah
tindakan pernapasan
|
5.
Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau
obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah
|
6.
Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan
tinggi protein dan karbohidrat
|
6.
Memaksimalkan masukan nutrisi, kebutuhan energi
dari makan makanan banyak dan menurunkan iritasi goster.
|
7.
Kolaborasi
8.
Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet
|
7.
Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan
nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet
|
d. Anemia
berhubungan dengan erosi pembuluh darah
1) Tujuan
: Anemia tidak terjadi
2) Kriteria
:
-
Klien tidak lemah
-
Batuk tidak mengeluarkan dahak darah
-
Klien tidak pucat
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Observasi TTV, kaji pengisian kapiler, warna kulit
: membran mukosa, dasar uku.
|
1.
Memberikan informasi tentang derajat keadaan kekuatan
perposi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi
|
2.
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi
|
2.
Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan
oksigen untuk kebutuhan seluler
Catatan :
kontradiksi bila ada hipotensi
|
3.
Awasi upaya pernafasan : auskultasi bunyi nafas,
perhatikan bunyi edventius
|
3.
Dispnea, gemerincik menunjukkan gejala karena
regangan jantung lama / peningkatan konpensasi curah jantung
|
4.
Kaji untuk respon verbal melambat, mudah
terangsang, agitsi, gangguan memori, bingung
|
4.
Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral
karena hipoksia / defisiensi Vit-B12
|
5.
Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu
lingkungan
|
5.
Vasokontriksi (ke organ vital) menurunkan
sirkulasi periper. Kenyamanan pasien / kebutuhan rasa hangat harus seimbang
dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebih pencetus vasodilatasi
(penurunan perpusi organ).
|
6.
Kolaborasi dalam pemeriksaan lab:Hb/Ht dan jumlah
SDM, GDA
|
6.
Menidentifikasi dan kebutuhan pengobatan / respons
terhadap terapi
|
7.
Berikan SDM darah lengkap / packed, produk darah
sesuai indikasi, awasi ketat untuk komplikasi transpusi
|
7.
Meningkatkan jumlah sel pembawa mokosa oksigen :
memperbaiki definisi untuk menurunkan resiko pendarahan.
|
8.
Berikan oksigen sesuai indikasi
|
8.
Memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan
|
e. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
1) Tujuan
: Personal hygiene tidak terjadi
2) Kriteria
:
-
Klien tidak lemah
-
Rambut dan kuku tidka kotor
-
Klien tidak bedrest lagi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan
menggunakan skala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari
|
1.
Membantu dalam mengantisipasi / perencanaan pemenuhan kebutuhan secara
individual.
|
2.
Hindari pasien melakukan sesuatu sendiri, tapi
berikan bantuan sesuai kebutuhan
|
2.
Bantuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi
klien untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
|
3.
Gunakan alat bantu untuk klien
|
3.
Pasien dapat menangani diri sendiri, meningkatkan
kemandirian dan harga diri
|
4.
Kaji kemampuan klien dalam melakukan tingkatan
aktivitas ringan seprti kekamar mandi sendiri
|
4.
Mengkaji perkembangan program latihan mandiri
|
f. Resiko
tinggi penularan penyakit berhubungan dengan baksil menyebar melalui udara
1) Tujuan
: Tidak terjadi penyebaran infeksi terhadap lingkungan sekitar
2) Kriteria
:
-
Klien jadi tahu cara pencegahan
penularan penyakit TB
-
Alat makan dan minum klien terpisah
dengan keluarga yang lain
-
Keluarga memakai masker saat kontak
dengan klien
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Jaga kondisi kebersihan lingkungan sekitar
|
1.
Agar mengurangi tingkat penyebaran infeksi
|
2.
Anjurkan klien untuk membuang sputum sembarangan,
buat tempat khusus untuk alat-alat yang dipakai klien
|
2.
Agar tidak terjadi penyebaran infekti klien dari
sputum yang dibuang sembarangan
|
3.
Awasi suhu ruangan sesuai indikasi
|
3.
Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut
|
4.
Kaji patologi penyakit : (akut/fase tak aktif
deseminasi infeksi melalui bronchus untuk membatasi jaringan/ melalui aliran
darah/sistem limfatik) dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara
selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa & bernyanyi
|
4.
Membantu pasien untuk menyadari / menerima
perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang.
Pemahaman bagaimana penyakit disebarkan dan kesadaran kemungkinan transmisi
membantu pasien /orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah
infeksi ke orang lain.
|
5.
Identifikasi beresiko
|
5.
Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi
obat untuk mencegah penyebaran terjadinya infeksi
|
6.
Anjurkan klien jika batuk/bersin menutupnya dengan
tisu, kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci tangan yang tepat
|
6.
Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran
infeksi.
|
7.
Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat
|
7.
Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah
kemotherapi awal, therafi pada adanya rongga / penyakit luas sedang, resiko,
penyebab infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
|
8.
Kaji pentingnya mengikuti dan kultur ulang secara
periodik terhadap sputum untuk lamanya therafi
|
8.
Alat dalam pengawasan efek dan keefektifan obat
dan respon klien terhadap therafi.
|
9.
Dorong /
memilih mencerna makanan seimbang berikan makanan sedikit tapi sering
/ dalam jumlah besar tapi makanan yang tepat
|
9.
Adanya anoreksia dan atau mal nutrisi sebelumnya,
merendahkan pertahanan terhadap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan
makanan kecil dapat meningkatkan pemasukan semua.
|
10.
Kolaborasi dalam memberikan agen anti infeksi
sesuai indikasi, seperti : (isonlazid : INH) etambutal (mymbutol), rifampin
(RMP/ripadin).
|
10.
Kombinasi agen anti infeksi digunakan conth : 2
obat primer tambah 1 obat sekunder. INH biasanya obat pilihan untuk pasien
infeksi dan pada resiko terjadi TB. Komoterafi INH dan rifampicin jangan
pernah terlewat (selama 9 bulan) dianggap pengobatan cukup untu TB paru,
Etambutol harus diberian bila sistem syaraf pusat untuk tak terkontaminasi,
diseminata terjadi/ bila dicurigai resisten
|
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes,
Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Irman Somantri,
S,Kp. M. Kep.2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan pada Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Junaidi,
Iskandar. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. Jakarta: Buana Ilmu Populer
Tambayong
Jan. 2000. Patofisiologi. Jakarta :
EGC.
Tarwoto
W. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia.
Jakarta : Salemba Medika
Thanks a lot, so helpful
BalasHapus